|
Gambar dan artikel tidak nyambung, wkwkwkwk. |
AKU cukup terkejut mengenal sosok Fredy S. Dan cukup telat mengenal
sosoknya yang acapkali disebut sebagai seorang sastrawan kaki lima,
maaf. Pasalnya, karya-karyanya dapart dijumpai di lapak-lapak atau
bus-bus di terminal. Namun aku menemukan karya lamanya dengan cetakan
baru saat mengungungi pengajian di PP Mbrasan. Dengan harga yang murah,
hanya 6.000,- rupiah, seratus halaman lebih.
Karyanya
sangat banyak. Yang sering disebut juga sebagai roman picisan. Tentang
cinta. Novelnya hampir 300. Ada catatan di om Google, hingga 500 novel.
Aku cuma punya dua, saking penasaran saja sebenarnya.
Fakta
ini mengingatkan ke beberapa temanku. lima teman yang sangat sering
mengirimiku puisi. Lewat SMS-nya. Namun salah satunya adalah yang paling
sering. Seorang pria. ia bisa mengirim puisi pendek hingga lima buah
judul ke INBOX-ku. Sungguh luar biasa menurutku.
Terkadang
aku membalasnya dengan puisi pula, bukan berarti aku sok bisa berpuisi
juga. Terkadang sekedar memberikan komentar pendek, bukan sok membenahi.
Dan terkadang pula tak membalasnya sama sekali, dan ini yang paling
sering, saking bagusnya puisi yang ia kirim.
***
Aku
yakin, produktif menulis ini penting. Entah dalam karya apapun.
Terutama puisi, yang sering kalinya sangat kurang menjadi perhatian di
mata pembaca secara umum. Terbukti dengan kurang adanya penghargaan
terhadap sastrawan di pentas nasional hingga dunia. Dan juga sedikitnya
buku-buku yang berisi puisi dan atau meneorikannya.
Produktivitas
ini lebih penting daripada menemukan ide. Hematku demikian. Ini perlu
diperhatikan anggota SABANA, yang muda hingga yang tua, yang baru daftar
hingga yang sudah alumni. Juga menjadi perhatianku. Yang sudah lama
pula tak menulis puisi. Esai masih agak sering. Cerpen sudah tidak
pernah, hehe.
Alasannya, merampungkan sebuah ide itu lebih
baik-menurutku-daripada menemukan ide dan inspirasi besar. Maka menjadi
penting untuk menyelesaikan ide-ide, merampungkan draft-draft,
melengkapi coretan-coretan, dan menulis outline dari ide kita. Dan,
terpenting tentunya idalah membereskan karya yang masih setengah jadi.
Daripada berandai-andai menemukan inspirasi besar. Daripada merenung tak
ada habisnya, dengan berharap ada ide menarik. Mending, kita
menyelesaikan ide-ide sederhana dan bahkan draft yang telah dibuat,
untuk dirampungkan.
Tepat pula barangkali dijadikan
landasan dalil, ungkapan Nabi SAW: kebaikan kecil yang teratur lebih
baik daripada kebaikan besar yang masih dilakukan dengan jarang. Atau
maqolah: Keteraturan itu lebih baik daripada memiliki 1000 keistimewaan.
Ungkapan di atas mengandung maksud beberapa nilai yang dapat kita yakini. Dan nilai ini dihubungkan dalam berkarya.
Inilah
empat nilai tersebut, jenengan bisa menambahkannya sendiri. Pertama,
bahwa disiplin dan keteraturan itu penting. Kedua, produktivitas itu
sangat penting. Ketiga, semakin rajin dan produktif maka karya kita
semakin baik. Dan keempat, apa yang sudah dimulai mestinya diselesaikan.
Kelima, semakin produktif semakin banyak kita memiliki kail-kail/ikatan
terhadap fakta dan kehidupan.
Pantaslah sudah menjadi
tanggung jawab diri, adalah menuntaskan draft/coretan-coretan yang kita
miliki. Alih-alih, memperkuat memori tentang apa yang hendak kita
selesaikan itu. Alih-alih, menunggu, mencari, kejatuhan ide baru untuk
tulisan.
***
Ada satu ibarat yang mengena
untuk menjelaskan nilai nomer lima yang aku tulis di atas. Sebuah logika
yang terkait antara dengan waktu dan karya. Juga logika antara
produktivitas dan kedekatan.
Ini tentang catatan kenangan
terhadap seorang tokoh Kiai di pesantren kita yang telah wafat empat
tahunan ini. Seorang temanku menuliskan sosok Kiai itu dalam untaian
bait puisi. Aku tak menulis puisi tentang sosoknya, barangkali
teman-teman santri juga.
Kala itu, menurutku adalah puisi
yang sederhana, maaf, dan kurang sarat makna. Namun anggapan itu kini
berubah, puisi itu menjadi berbeda meski tanpa gubahan. Puisi yang
biasa-biasa itu, kini menjadi sungguh layak untuk dinikmati dan dikaji.
Pasalnya,
barangkali, hanya puisi itulah satu-satunya yang mendiskripsikan
tentang sosoknya, sang Kiai. Hidup dan meninggalnya. Ketokohan dan
tauladannya.
Puisi itu menjadi kuat dan penting. Karena
memiliki hubungan berupa fakta kedekatan yang kuat antara
sosok-desripsi-waktu. Akhirnya, puisi itu bisa dipelajari bersama oleh
generasi selanjutnya. Ini artinya, sebuah puisi sesederhana apapun tak
dapat dianggap remeh.
Sedang, orang-orang yang kini
mengenang sosok (Kiai) itu dengan membuat puisi atau apapun deskripsi,
sebagus apapun karya itu, ia telah kehilangan kedekatan fakta. Sehingga
kedekatan personal juga lemah. pada ujungnya, karya baru itupun sungguh
menjadi karya yang ketinggalan zaman (dengan fakta).
***
Tengah malam. Kamar. 16 Agustus 2011. Tegaldlimo. Untuk SABANA.
Diposting ulang dari kumpulan catatan FBku yang satunya (Muha Sufyan) untuk Tegaldlimo Banyuwangi.